Jumat, 27 Desember 2013

MORALITAS KORUPTOR, BAB 4

ABSTRAK


RIZA SETYA SAPUTRA : 16210091
MORALITAS KORUPTOR
Penulisan. Jurusan Manajemen, Fakultas Ekonomi, Universitas Gunadarma, 2013
Kata Kunci : Moralitas, Koruptor, Penulisan

Penulisan yang berjudul “Moralitas Koruptor “ ini membahas tentang membahas mengapa korupsi bisa terjadi, bagaimana dampaknya terhadap sebuah kegiatan bisnis, dan siapa yang harus bertanggungjawab. Makalah ini dilatarbelakangi oleh maraknya tindakan korupsi terutama dalam bidang bisnis. Metode penulisan ini dengan cara mengumpulkan berbagai informasi yang dari sumber-sumber yang terdapat di internet. Berdasarkan pencarian penulis di internet ternyata ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan seseorang melakukan korupsi dan dampak yang diakibatkan korupsi dalam dunia bisnis. Dalam penulisan ini dapat disimpulkan bahwa dampak korupsi dalam bidang bisnis diantaranya akan membebankan perusahaan  seperti adanya High Cost sehingga hal tersebut berpengaruh pula pada harga dari sebuah produk barang atau jasa yang dihasilkan. Dalam penulisan ini saran yang diberikan yaitu perlu adanya peningkatan moral dari tiap individu sehingga tidak hanya mementingkan kepentingan masing-masing namun juga mempertimbangkan kepentingan perusahaan dengan segala aspeknya. Peningkatan moral bisa dilakukan sejak dini dengan pendidikan anti korupsi sejak kecil dan mencoba untuk tidak melakukan korupsi dalam hal-hal kecil.

BAB I
PENDAHULUAN


1.1  Latar Belakang
Kemajuan suatu negara sangat ditentukan oleh kemampuan dan keberhasilannya dalam melaksanakan pembangunan. Pembangunan sebagai suatu proses perubahan yang direncanakan mencakup semua aspek kehidupan masyarakat. Efektifitas dan keberhasilan pembangunan terutama ditentukan oleh dua faktor, yaitu sumber daya manusia, yakni (orang-orang yang terlibatsejak dari perencanaan samapai pada pelaksanaan) dan pembiayaan. Diantaradua faktor tersebut yang paling dominan adalah faktor manusianya.Indonesia merupakan salah satu negara terkaya di Asia dilihat dari keanekaragaman kekayaan sumber daya alamnya. Tetapi ironisnya, negaratercinta ini dibandingkan dengan negara lain di kawasan Asia bukanlah merupakan sebuah negara yang kaya malahan termasuk negara yang miskin.Mengapa demikian? Salah satu penyebabnya adalah rendahnya kualitas sumber daya manusianya. Kualitas tersebut bukan hanya dari segi pengetahuan atau intelektualnya tetapi juga menyangkut kualitas moral dan kepribadiannya. Rapuhnya moral dan rendahnya tingkat kejujuran dari aparat penyelenggara negara menyebabkan terjadinya korupsi.
Permasalahan korupsi yang melanda negeri ini bagaikan sebuah penyakit yang tidak akan pernah sembuh. Berbagai fakta dan kenyataan yang diungkapkan oleh media seolah-olah merepresentasikan jati diri bangsa yang dapat dilihat dari budaya korupsi yang telah menjadi hal yang biasa bagi semua kalangan, mulai dari bawah hingga kaum elite. Tindak pidana korupsi di Indonesia hingga saat ini masih menjadi salah satu penyebab terpuruknya sistem perekonomian bangsa. Hal ini disebabkan karena korupsi di Indonesia terjadi secara sistemik dan meluas sehingga bukan saja merugikan kondisi keuangan negara, tetapi juga telah melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas. Atas dasar tersebut penulis akan membahas mengenai korupsi di Indonesia terutama yang berkaitan dengan moralitas koruptor



1.2  Rumusan Masalah
Rumusan masalah pada penulisan ini adalah :
1.      Mengapa korupsi bisa terjadi ?
2.      Bagaimana dampaknya terhadap sebuah kegiatan bisnis ?
3.      Siapa yang harus bertanggungjawab ?

1.3  Batasan masalah
Batasan masalah penulisan ini adalah hanya terbatas membahas mengapa korupsi bisa terjadi, bagaimana dampaknya terhadap sebuah kegiatan bisnis, dan siapa yang harus bertanggungjawab.

1.4  Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan ini yaitu untuk mengetahui membahas mengapa korupsi bisa terjadi, bagaimana dampaknya terhadap sebuah kegiatan bisnis, dan siapa yang harus bertanggung jawab.

BAB II
LANDASAN TEORI

2.1 Pengertian Korupsi
Korupsi berasal dari kata latin Corrumpere, Corruptio, atau Corruptus. Arti harfiah dari kata tersebut adalah penyimpangan dari kesucian (Profanity), tindakan tak bermoral, kebejatan, kebusukan, kerusakan, ketidakjujuran atau kecurangan. Dengan demikian korupsi memiliki konotasi adanya tindakan-tindakan hina, fitnah atau hal-hal buruk lainnya. Bahasa Eropa Barat kemudian mengadopsi kata ini dengan sedikit modifikasi; Inggris : Corrupt, Corruption; Perancis : Corruption; Belanda : Korruptie. Dan akhirnya dari bahasa Belanda terdapat penyesuaian ke istilah Indonesia menjadi : Korupsi.
Kumorotomo (1992 : 175), berpendapat bahwa “korupsi adalah penyelewengan tanggung jawab kepada masyarakat, dan secara faktual korupsi dapat berbentuk penggelapan, kecurangan atau manipulasi”. Lebih lanjut Kumorotomo mengemukakan bahwa korupsi mempunyai karakteristik sebagai kejahatan yang tidak mengandung kekerasan (non-violence) dengan melibatkan unsur-unsur tipu muslihat (guile), ketidakjujuran (deceit) dan penyembunyian suatu kenyataan (concealment).

Dengan demikian, korupsi merupakan tindakan yang merugikan dalam bidang apapun baik secara langsung maupun tidak langsung. Bahkan ditinjau dari berbagai aspek normatif, korupsi merupakan suatu penyimpangan atau pelanggaran. Di mana norma soisal, norma hukum maupun norma etika pada umumnya secara tegas menganggap korupsi sebagai tindakan yang buruk.


2.1.1 Jenis – Jenis Korupsi

Menurut UU. No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, ada tiga puluh jenis tindakan yang bisa dikategorikan sebagai tindak korupsi. Namun secara ringkas tindakan-tindakan itu bisa dikelompokkan menjadi:
1. Kerugian keuntungan Negara
2. Suap-menyuap (istilah lain : sogokan atau pelicin)
3. Penggelapan dalam jabatan
4. Pemerasan
5. Perbuatan curang
6. Benturan kepentingan dalam pengadaan
7. Gratifikasi (istilah lain : pemberian hadiah).

Selanjutnya Alatas dkk (Kumorotomo, 1992 : 192-193), mengemukakan ada tujuh jenis korupsi, yaitu :
1. Korupsi transaktif (transactive corruption)
Jenis korupsi ini disebabkan oleh adanya kesepakatan timbal balik antara pihak pemberi dan pihak penerima demi keuntungan kedua belah pihak dan secara aktif mereka mengusahakan keuntungan tersebut.
2. Korupsi yang memeras (extortive corruption)
Pemerasan adalah korupsi di mana pihak pemberi dipaksa menyerahkan uang suap untuk mencegah kerugian yang sedang mengancam dirinya, kepentingannya atau sesuatu yang berharga baginya.
3. Korupsi defensif (defensive corruption)
Orang yang bertindak menyeleweng karena jika tidak dilakukannya, urusan akan terhambat atau terhenti (perilaku korban korupsi dengan pemerasan, jadi korupsinya dalam rangka mempertahankan diri).
4. Korupsi investif (investive corruption)
Pemberian barang atau jasa tanpa memperoleh keuntungan tertentu, selain keuntungan yang masih dalam angan-angan atau yang dibayangkan akan diperoleh di masa mendatang.

5. Korupsi perkerabatan atau nepotisme (nepotistic corruption)
Jenis korupsi ini meliputi penunjukan secara tidak sah terhadap Sanak-Saudara atau teman dekat untuk menduduki jabatan dalam pemerintahan. Imbalan yang bertentangan dengan norma dan peraturan itu mungkin dapat berupa uang, fasilitas khusus dan sebagainya.
6. Korupsi otogenik (autogenic corruption)
Bentuk korupsi yang tidak melibatkan orang lain dan pelakunya hanya satu orang saja.
7. Korupsi dukungan (supportive corruption)
Korupsi yang dilakukan untuk melindungi atau memperkuat korupsi yang sudah ada maupun yang akan dilaksanakan.

2.2 Pengertian Moralitas
Moralitas (dari "cara, karakter, perilaku yang tepat" moralitas Latin) adalah rasa melakukan perilaku yang membedakan niat, keputusan, dan tindakan antara mereka yang baik (atau kanan) dan buruk (atau salah). Kode moral merupakan sistem moralitas (misalnya, sesuai dengan filsafat tertentu, agama, budaya, dll) dan moral adalah setiap praktek satu atau mengajar dalam kode moral. Imoralitas adalah oposisi aktif untuk moralitas, sementara amoralitas yang beragam didefinisikan sebagai ketidaksadaran, ketidakpedulian terhadap, atau tidak percaya dalam setiap set standar moral atau prinsip. Menurut Oxford Dictionary Inggris, moral kata pertama kali digunakan oleh Paus Gregorius Agung dalam Moralitas karyanya dalam Kitab Ayub . Etika, di sisi lain, tradisional dibagi ke sekolah-sekolah Aristoteles, Kant dan utilitarian. Etika kata tidak pertama kali digunakan sampai sekitar tahun 1400-an. Dengan demikian, kita dapat mengkategorikan moral sebagai kode perilaku yang berasal dari beberapa sumber wahyu ilahi, sedangkan etika berasal dari hukum manusia atau sosial atau kustom.
Moralitas memiliki dua makna utama:
-          Dalam "deskriptif" arti, moralitas mengacu pada nilai-nilai pribadi atau budaya, kode etik atau adat-istiadat sosial yang membedakan antara benar dan salah dalam masyarakat manusia. Menggambarkan moralitas dalam cara ini tidak membuat klaim tentang apa yang secara objektif benar atau salah, tetapi hanya mengacu pada apa yang dianggap benar atau salah oleh seorang individu atau sekelompok orang (seperti agama). Rasa istilah ini ditangani oleh etika deskriptif
-          Dalam arti yang "normatif", moralitas merujuk langsung ke apa yang benar dan salah, terlepas dari apa yang individu-individu tertentu berpikir. Hal ini dapat didefinisikan sebagai perilaku orang yang ideal "moral" dalam situasi tertentu. Ini penggunaan istilah itu dicirikan oleh "definitif" pernyataan seperti "Orang itu adalah bertanggung jawab secara moral" daripada pernyataan deskriptif seperti "Banyak orang percaya orang yang bertanggung jawab secara moral." Ide-ide dieksplorasi dalam etika normatif. Rasa normatif moralitas sering ditantang oleh nihilisme moral (yang menolak keberadaan dari setiap kebenaran moral)dan didukung oleh realisme moral (yang mendukung keberadaan kebenaran moral).
Etika (juga dikenal sebagai filsafat moral) adalah cabang filsafat yang membahas pertanyaan tentang moralitas. 'Etika' adalah "umum digunakan bergantian dengan 'moralitas' berarti subjek penelitian ini, dan kadang-kadang digunakan lebih sempit berarti prinsip-prinsip moral, kelompok individu tradisi tertentu, atau." Demikian juga , jenis tertentu dari teori-teori etika, etika terutama deontologis, terkadang membedakan antara 'etika' dan 'moral': "Meskipun moralitas orang dan etika mereka jumlah untuk hal yang sama, ada penggunaan yang membatasi moralitas untuk sistem seperti yang dari Kant, didasarkan pada gagasan seperti tugas, kewajiban, dan prinsip-prinsip perilaku, sisakan etika untuk pendekatan yang lebih Aristotelian untuk penalaran praktis, didasarkan pada gagasan suatu kebajikan, dan umumnya menghindari pemisahan "moral" pertimbangan dari pertimbangan praktis lainnya. 


BAB III
METODE PENULISAN

Pada penulisan ini, informasi yang didapatkan oleh penulis bersumber dari internet yang berkaitan dengan etika bisnis agar rumusan dan tujuan penulisan ini dapat terjawab. Data dalam penulisan ini mengunakan data sekunder. Dimana pengertian Data Sekunder adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan peneliti dari berbagai sumber yang telah ada (peneliti sebagai tangan kedua). Data sekunder dapat diperoleh dari berbagai sumber seperti Biro Pusat Statistik (BPS), buku, laporan, jurnal, dan lain-lain.

BAB IV
PEMBAHASAN

4.1 Penyebab Terjadinya Korupsi
Korupsi dapat terjadi karena beberapa factor yang mempengaruhi pelaku korupsi itu sendiri atau yang biasa kita sebut koruptor. Adapun sebab-sebabnya, antara lain:
1.         Klasik 
a.       Ketiadaan dan kelemahan pemimpin. Ketidakmampuan pemimpin untuk menjalankan tugas dan tanggung jawabnya, merupakan peluang bawahan melakukan korupsi. Pemimpin yang bodoh tidak mungkin mampu melakukan kontrol manajemen lembaganya.kelemahan pemimpin ini juga termasuk ke leader shipan, artinya, seorang pemimpin yang tidak memiliki karisma, akan mudah dipermainkan anak buahnya. Leadership dibutuhkan untuk menumbuhkan rasa takut,ewuh poakewuhdi kalangan staf untuk melakukan penyimpangan.
b.      Kelemahan pengajaran dan etika. Hal ini terkait dengan system pendidikan dan substansi pengajaran yang diberikan. Pola pengajaran etika dan moral lebih ditekankan pada pemahaman teoritis, tanpa disertai dengan bentuk-bentuk pengimplementasiannya.
c.       Kolonialisme dan penjajahan. Penjajah telah menjadikan bangsa ini menjadi bangsa yang tergantung, lebih memilih pasrah daripadaberusaha dan senantiasa menempatkan diri sebagai bawahan.Sementara, dalam pengembangan usaha, mereka lebih cenderung berlindung di balik kekuasaan (penjajah) dengan melakukan kolusidan nepotisme. Sifat dan kepribadian inilah yang menyebabkan munculnya kecenderungan sebagian orang melakukan korupsi.
d.      Rendahnya pendidikan. Masalah ini sering pula sebagai penyebab timbulnya korupsi. Minimnya ketrampilan, skill, dan kemampuan membuka peluang usaha adalah wujud rendahnya pendidikan. Dengan berbagai keterbatasan itulah mereka berupaya mencsri peluang dengan menggunakan kedudukannya untuk memperoleh keuntungan yangbesar. Yang dimaksud rendahnya pendidikan di sini adalah komitmen terhadap pendidikan yang dimiliki. Karena pada kenyataannya  koruptor rata-rata memiliki tingkat pendidikan yang memadai,kemampuan, dan skill.
e.       Kemiskinan. Keinginan yang berlebihan tanpa disertai instropeksi diriatas kemampuan dan modal yang dimiliki mengantarkan seseorang cenderung melakukan apa saja yang dapat mengangkat derajatnya.Atas keinginannya yang berlebihan ini, orang akan menggunakan kesempatan untuk mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya.
f.       Tidak adanya hukuman yang keras, seperti hukuman mati, seumur hidup atau di buang ke Pulau Nusa kambangan. Hukuman seperti itulah yang diperlukan untuk menuntaskan tindak korupsi.
g.      Kelangkaan lingkungan yang subur untuk perilaku korupsi.
2.      Moderna
a.       Rendahnya Sumber Daya Manusia.Penyebab korupsi yang tergolong modern itu sebagai akibat rendahnya sumber daya manusia. Kelemahan SDM ada empat komponen, sebagai berikut:
-          Bagian kepala, yakni menyangkut kemampuan seseorang menguasai permasalahan yang berkaitan    dengan sains dan knowledge.
-          Bagian hati, menyangkut komitmen moral masing-masing komponen bangsa, baik dirinya maupun untuk kepentingan bangsa dan negara, kepentingan dunia usaha, dan kepentingan seluruh umat manusia.komitmen mengandung tanggung jawab untuk melakukan sesuatu hanya yang terbaik dan menguntungkan semua pihak.   
-          Aspek skill atau keterampilan, yakni kemampuan seseorang dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya.
-          Fisik atau kesehatan. Ini menyangkut kemanpuan seseorang mengemban tanggung jawab yang diberikan. Betapa pun memiliki kemampuan dan komitmen tinggi, tetapi bila tidak ditunjang dengan kesehatan yang prima, tidak mungkin standar dalam mencapai tujuann
b.      Struktur Ekonomi Pada masa lalu struktur ekonomi yang terkait dengan kebijakan ekonomi dan pengembangannya dilakukan secara bertahap.Sekarang tidak ada konsep itu lagi. Dihapus tanpa ada penggantinya,sehingga semuanya tidak karuan, tidak dijamin. Jadi, kita terlalu memporak-perandakan produk lama yang bagus
4.2.       Dampak Korupsi Dalam Kegiatan Bisnis
Dengan adanya praktek korupsi yang sedang marak terjadi di Indonesia, seperti proses perizinan usaha sebuah perusahaan yang berbelit-belit dan dengan biaya tinggi yang tidak pada semestinya dikarenakan ada oknum tertentu dengan sengaja mengambil sebagian biaya tersebut. Dengan adanya praktek pungutan yang tidak semestinya, maka hal tersebut, tentunya sangat berdampak pada kegiatan bisnis dalam suatu perusahaan karena dengan adanya praktek-praktek korupsi oleh pihak-pihak/oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab ini akan membebankan perusahaan  seperti adanya High Cost sehingga hal tersebut berpengaruh pula pada harga dari sebuah produk barang atau jasa yang dihasilkan. Hal ini terjadi karena buruknya mental dan minimnya pemahaman serta kesadaran hukum pada para pelaku tindak pidana korupsi tersebut. Dan adanya persepsi dari para pengusaha terjadinya sejumlah kasus korupsi termasuk suap, juga dipicu karena rumitnya urusan birokrasi yang tidak pro bisnis, sehingga mengakibatkan beban biaya ekonomi yang tinggi dan inefisiensi waktu.
4.3 Fenomena Sosial Korupsi dalam Praktik Bisnis
-         Aspek Sosial Politik
Berkaitan dengan koruhsi yang dilakukan sehubungan dengan kekuasaan yang dimilikinya melalui aktivitas ke­giatan dengan alasan untuk kepentingan politik, banyak elite politik yang duduk dalam dewan legislatif DPR terlibat korupsi dengan nuansa bisnis. Contohnya adalah kolusi proyek pembangunan, jasa transportasi fiktif, per­jalanan dinas fiktif, pengadaan barang fiktif, penyimpangan dana APBN, APBD, mark-up investasi, money politic untuk memperoleh jabatan pemilihan kades/lurah, pemilihan presiden, gubernur, bupati, wali­kota. Pemilihan kepala daerah bahkan sangat kental de­ngan nuansa korupsi, dengan money politic, pemberian barang, uang, dan fasilitas. Fenomena sosial politik dan kekuasaan identik dengan pernyataan sosiolog dan krimi­nolog Lord Acton yang menyebutkan "Power Tends to Corrupt, but Absolute Power Corrupts Absolutely". Artinya, kekuasaan cenderung korupsi, tetapi kekuasaan yang berlebihan mengakibatkan korupsi yang berlebihan pula. Dalil tersebut bertumpu pada penyelewengan dan penyalahgunaan kekuasaan. Realitas perilaku elite politik dewasa ini menunjukkan kebenaran pernyataan itu (Guna­wan, 1993: l5).

-         Aspek Sosial Ekonomi
Kenyataan yang tidak dapat dimungkiri dan seakan men­jadi rahasia umum adalah bahwu perilaku korupsi dalam praktik bisnis telah begitu menggejala. Peluang para pe­laku bisnis di Indonesia untuk melakukan korupsi begitu terbuka sehingga dapat memengaruhi kehidupan ekonomi makro, menengah ke bawah, sampai kehidupan ekonomi mikro. Korupsi yang paling banyak terjadi dalam praktik bisnis contohnya adalah pengadaan barang dan jasa, yang sekarang telah diatur dengan Kepres No. 80 Tahun 2003. Perilaku korupsi tersebut mencakup suap (bribery) dengan cara pemberian komisi, order fee, tip untuk pejabat. Bah­kan sering terjadi korupsi transaktif pada sektor ekonomi makro terutama dalam praktik korupsi pada investasi dan kasus proyek besar misalnya pertambangan, kehutanan, bantuan luar negeri, dan perpajakan, yang sangat poten­sial dengan manipulasi, kolusi yang merugikan pereko­nomian dan kekayaan negara, serta menyebabkan kecilnya APBN. Bahkan yang mengejutkan  jumlah korupsi Indonesia mencapai  Rp 444 triliun, melebihi APBN tahun 2003  Rp 370 triliun ( Surga Para Koruptor  Jakarta: Penerbit Buku Kompas hal 145).

-         Aspek Sosial Budaya
Disadari sementara orang dapat bersekolah atau kuliah karena kolusi, buku-buku pelajaran dijadikan ajang bisnis. Gaji para guru dan dosen rendah dan sering kali kena po­tongan. Ketakberdayaan dalam keterbatasan kesejahteraan ini mendorong para guru mencari peluang tambahan an­tara lain dengan korupsi. Selain itu, banyak guru tak jelas nasibnya, infrastruktur pembangunan pendidikan, ter­utama gedung sekolah, banyak yang rusak dan tidak me­menuhi standar teknis (spectic, bestec), sehingga sektor pendidikan menjadi mahal karena nuansa korupsi. Sektor keagamaan juga tak lepas dari praktik korupsi. Bidang keagamaan, khususnya bagian pelaksanaan administrasi, merupakan ladang subur munculnya berbagai pungutan dengan alasan keikhlasan dan amal sedekah untuk kepen­ringan pribadi atau orang lain. Tenru saja hal ini adalah tindakan amoral karena tergolong korupsi (Wintolo, 2004: 11).

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Korupsi adalah suatu tindak perdana yang memperkaya diri yang secara langsung merugikan negara atau perekonomian negara. Jadi, unsur dalam perbuatan korupsi meliputi dua aspek. Aspek yang memperkaya diri dengan menggunakan kedudukannya dan aspek penggunaan uang yang bukan haknya untuk kepentingannya. Adapun penyebabnya antara lain, ketiadaan dan kelemahan pemimpin,kelemahan pengajaran dan etika, kolonialisme, penjajahan rendahnya pendidikan, kemiskinan, tidak adanya hukuman yang keras, kelangkaan lingkungan yang subur untuk perilaku korupsi, rendahnya sumber daya manusia, serta struktur ekonomi. Korupsi dapat diklasifikasikan menjadi tiga jenis, yaitu bentuk, sifat,dan tujuan. Dampak korupsi dalam bidang bisnis diantaranya akan membebankan perusahaan  seperti adanya High Cost sehingga hal tersebut berpengaruh pula pada harga dari sebuah produk barang atau jasa yang dihasilkan.

5.2 Saran
     Dalam penulisan ini penulis memberikan saran yaitu perlu adanya peningkatan moral dari tiap individu sehingga tidak hanya mementingkan kepentingan masing-masing namun juga mempertimbangkan kepentingan perusahaan dengan segala aspeknya. Peningkatan moral bisa dilakukan sejak dini dengan pendidikan anti korupsi sejak kecil dan mencoba untuk tidak melakukan korupsi dalam hal-hal kecil.

DAFTAR PUSTAKA





 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar